Satu meja itu, meja
paling depan di deretan nomor dua dari kanan dinding kelas Sepuluh Satu. Salah
satu terfavorit, tentu saja. Kemudian di belakang kami akan ada Yoga Nur
Adhitama dan Zaka Jauhar Firdaus, our
faithful friend. Atau ketika kami
memilih untuk duduk di meja nomer dua dari depan, maka akan ada Athaya Reisya
Nabila dan Sinta Puspita Sari di depan kami. Tatanan itu tidak akan berubah
kecuali ada ‘disaster’nya anak sekolahan. Ulangan Harian.
Entah mulai dari mana
aku bisa menemukan dia. Awalnya kami memang bukan teman dekat. Awalnya lagi aku
lebih sering menghabiskan waktuku bersama Gresi Amarita Rahma, Dewi Arnis, dan
Laras Qistina Putri. Tiba-tiba saja, aku sudah dekat dengan dia, tiba-tiba saja
semuanya terasa lebih menyenangkan.
Kami berbeda, bukan
tipikal gadis yang sama. Begitulah kami saling melengkapi, mungkin. Dia selalu
mendengarkan segala ceritaku walaupun aku sangat yakin itu bukanlah hal yang
penting untuknya. Hingga saat ini, aku merasa bukanlah pendengar yang terlalu
baik untuknya. Untuk kedua kalinya aku merasa aku merenggut lebih dari lima
puluh persen waktu kebersamaan kami. Seringkali aku berpikir apakah aku sudah
menjadi sahabat yang baik untuknya, aku terlalu egois dan ... kalau kata Yoga
aku sudah seperti diktator ketika memberi saran. Apakah dia nyaman atau justru
terpaksa karena memang begitulah seharusnya tatanan kami di kelas.
Aku menyukainya,
kesederhanaannya dan caranya cemberut. Menangis pun rasanya aku juga telah menyukai
caranya. Satu waktu, aku masih ingat benar ketika dia membantuku mengenakan
jilbab. Jilbab warna abu-abu miliknya yang aku pinjam karena aku harus ke
masjid sepulang dari rumahnya dan hari itu aku tidak membawanya. Aku begitu
terkesan, sungguh.
Juga waktu ketika aku
mengajarinya naik kereta (baca: motor). Hei, girl! Berapa tawa yang kita umbar
saat itu. Ah, aku sangat merindukannya. Mungkin juga momen kami menginap
bersama, momen aku berkali-kali melihatnya mengeces, berapa umurmu? Aha, tapi
lagi-lagi aku memang tengah merindukannya.
Aku menemukan diriku
sendiri ketika bersamanya, aku ... ya beginilah aku.
Satu tahun berlalu,
kenaikan kelas dan dalam daftar kami satu kelas lagi. Bahagia? Yaa tentu saja.
Namun angan tentang memasuki tahun kedua kami harus menguap bersama pekat.
Daftarnya diubah dan kami tidak lagi satu kelas. Hell yeah. Sedih sekali, aku
bahkan tidak tahu harus bagaimana, kurasa bukan hal yang mudah untuk
beradaptasi dengan seseorang hingga intens seperti yang pernah kulakukan
bersamanya. And God, ini terlalu melankolis untuk ku tuliskan.
Kami jarang mengobrol
sejak itu, betapa aku selalu bersamanya dari pagi hingga jam dua siang dan
tiba-tiba semua itu terhenti. Tentu saja, harus menyesuaikan diri hingga hal
yang kutakutkan pun terjadi. Kami terbiasa untuk tidak saling bersama. Ah, aku
tidak lagi bisa menceritakan kepadanya tentang apa yang baru saja terjadi,
membicarakan hal-hal yang tidak penting apalagi. I’ve been missing it too much
much much.
Aku hanya ingin
berterimakasih yang sangat banyak untuknya, juga begitu besarnya aku
merindukannya.
Akulah yang pertama
memanggilnya Togar, hey, bukan hal yang tidak biasa lagi sekarang ketika semua
orang juga memanggilnya demikian. Aku selalu berharap, menyelipkan doa-doa
kecil agar mereka juga menyayangimu seperti aku, lewat nama itu atau apapun! Voila, aku harus menghentikannya mungkin.
Cukup sampai di sini saja yaa. Hope ur best, absolutely yes. Amin.