Written on March 18th 2011
Membosankan memang memaksa matamu untuk mencerca tiap huruf dalam tulisanku hingga kalian mengerti tentang apa yang sedang ku embankan tentangnya. Hanya aku yang dapat merasakannya, mungkin sama dengan yang kalian rasakan, mungkin juga tidak. Tapi aku ingin membagi satu hal kepada kalian, bahwa setiap orang memilih jalannya sendiri. Tuhan bukan mendekdok kita dengan satu takdir, melainakan memberikan kita beberapa pilihan takdir untuk kita pilih, lalu kita ubah sedemikian rupa menurut jalan yang telah Tuhan pagari dari setiap pilihan-pilihan takdir itu. Tuhan memberikan kita pilihan, bukan memberikan kita satu takdir saja. Kitalah yang menentukan kemana takdir kita atas pilihan itu.
Ini bukan kali pertama aku menulis tentangnya. Mungkin sudah belasan atau bahkan puluhan kali aku menuliskannya, untuk siapa lagi kalu bukan untuknya. Jujur, sampai saat ini pun aku tak pernah bisa mencegah otakku untuk tidak menggantungkan namanya lekat-lekat agar dapat aku ingat selalu. Entah, aku juga tak mengeri apa yang ku rasakan, karena aku sendiri tak begitu peduli dengan apapun yang aku ilhami tentangnya, mungkin aku terlalu takut untuk mengakui segala yang terpendam begitu saja di sini. Takut, yaaa, ku akui aku takut.
Aku pernah mendengar dari seseorang yang dipercaya Tuhan, bahwa ketika kita tidak lagi bersama seseorang yang dianggap penting dalam menjalin hubungan berpasangan maka kita akan mendapatkan seseorang yang lebih segala-galanya dari dia, karena itu berarti dia bukanlah yang terbaik yang diberikan Tuhan untuk kita. Aku sadar benar mengenai hal itu. Juga tersebut mengapa aku menjadikannya prinsip hidupku sejak pertama aku mendengarnya. Semua teresap dalam tatanan hidupku, menjadi sebuah prinsip yang fundamental dalam hidupku. Tapi ini sedikit berbeda dengannya, aku tetap pada prinsipku, namun betapa pun banyak orang mengisi hatiku bergantian, dia memiliki satu ruang berbeda di sini, tak akan kemana, tak akan terganti sekalipun ada yang menjajarinya di hatiku. Sulit untukku sendiri mengerti akan apa yang ku yakini sekian lama tentangnya. Aku tak pernah berharap untuk menjadi seseorang yang berarti dalam hidupnya, sekalipun harapan itu tetap ada walaupun sedikit, aku tak pernah bermimpi untuk medampinginya. Kau tahu, ini tabu untukku. Aku menginginkan yang terbaik untukku nanti, tapi bukan saat ini. Betapa bodohnya ketika aku memanjatkan permohonan tentang sebuah hubungan sejati dari seorang Bajingan sepertinya. Itu jelas bukan diriku sendiri. Betapapun rasa ni menggebu-nggebu dalam tiap kedipan mataku, aku menginginkan yang benar-benar terbaik untukku, dan itu jelas bukan dirinya. Yaa, aku sangat meyakininya.
Aku bisa menyayangi seseorang selain dirinya, beberapa mampir di hatiku dan menyisakkan bahagia yang tidak bisa dia berikan untukku, beberapa meninggalkan luka lebih dari yang dia berikan untukku. Luka tentangnya pun belum kering hingga saat ini, sungguh, ini membayangiku hingga saat ini. Sejenak ketika mereka mengisi ruang kosong di sini, sejenak pula aku bisa melupakannya. Tapi seperti aku katakan, itu hanya sejenak saja. Pada akhirnya ketika mereka semua pergi, bayangannya justru menghampiriku. Aku tak bisa berapriori kepadanya, bahwa dialah yang membuatku tidak bersyukur atas apa yang Tuhan pilihkan untukku. Ingin kutegaskan sekali lagi, aku membiarkan rasa ini tetap ada dalam diriku, namun bukan berarti aku membiarkan hidupku sia-sia untuk mengindahkan segala hal tentangnya. Aku memang membiarkan rasa ini melekat padaku, namun bukan berarti aku membiarkannya untuk mengembang dan mendesak ruang lain yang seharusnya kuberikan pada mereka yang mempunyai ikatan tulus padaku.
Aku juga yakin bahwa Tuhan memberi hari baik pada setiap manusia. Memang benar, setiap hari yang Tuhan berikan di dunia adalah hari baik, namun Tuhan juga pasti memberikan hari yang lebih baik dari pada hari-hari yang lain untuk seriap orang. Yaa, aku percaya itu. Lalu aku menganggap bahwa hari Kamis, tujuhbelas Maret dua ribu sebelas adalah hari baikku bersamanya. Sembilan jam aku menghabiskan waktuku untuk bersmanya. Menceritakan segala hal yang berkecamuk, bernostalgia dengan berbagai kenangan yang terbesit begitu saja, juga menunggu hujan. Aku tak menyukai hujan, tapi bukan berarti aku membencinya. Hari itu menjelang malam, mendung dan gerimis. Aku sangat menyukai gerimis, mungkin itu menjadi salah satu alasan mengapa aku menyebutnya sebagai hari baik. Tapi selebihnya adalah karena aku bisa bersamanya. Senyumnya, kerutan dahinya, lirikan sadisnya, tawa lepasnya, desahan manjanya, juga berbagai hal yang menjadi satu dalam dirinya masih terekam jelas di memoriku. Semua terasa nyata, bukan mimpi. Walaupun hanya sesaat, aku merasa bahagia menjalani segala hal yang melintas begitu saja. Aku sangat mengerti, adalah benar aku akan kehilangannya lagi setelah ini, sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi aku menikmatinya. Tapi aku menyukainya.
Dia seperti halnya dengan angin, datang hanya untuk sesaat. Seperti senja dengan semburat oranyenya yang memekakkan mata. Sayang dia bukan matahari, yang menjanjikan esok tetap ada. Dia datang tanpa sebuah permintaan apalagi undangan, secara tiba-tiba menjadi sesosok yang sangat aku dambakan dengan segala kekurangan yang ditutupinya dariku, lalu hilang begitu saja, sangat cepat hingga tak menyisakan bekas sedikitpun. Dia ta pernah meninggalkan sebuah harapan, dia berjalan apa adanya, sesuai dengan apa yang dikehendakinya, itulah dia yang menjadikannya berbeda di mataku. Aku pernah terluka dengan segala hal yang dia saguhkan untukku, tapi seiring waktu berlalu semua menjadi biasa untukku. Dia akan datang lagi lalu pergi lagi, datang dan pergi begitu seterusnya. Mengapa aku membiarkan segala yang kurasakan mengenainya, karena semua hal tentangnya adalah tak pasti.
Aku juga pernah mendengar, bahwa Tuhan memberikan kita satu kesempatan untuk mengungkapkan apa yang terjadi di sini, di hati. Aku juga pernah mendapatkannya. Mungkin ini adalah traumaku hingga aku tak mau memikirkan rasa apa yang aku kasihkan padanya. Saat itu dia tak mempercayai segala hal yang ku ucapkan, bahwa aku menyayanginya, tulus. Hingga ketika Tuhan benar-benar baik dan memberiku kesempatan kedua melalui dirinya, dia menanyakannya padaku, ketika dia berkata ‘mengapa’, aku bukan lagi menjawab ‘karena aku menyayanginya’ namun aku menjawab ‘karena aku takut menjadi sayang padamu’, lalu dia bilang bahwa itu hanyalah alasan klasikku saja. Semua terhenti sampai itu saja, tak ada pembahasan lebih karena segala hal yang ingin kujelaskan padanya tersekat di tenggorokanku tanpa kompromi. Hingga saat ini pun aku tak pernah mengungkapkan segala hal yang berkecamuk dalam hati, yang terpendam sekian lama. Bahkan memikirkannya saja tidak. Mungkin takut menerima penolakan, mungkin trauma, entah aku tak ingin lagi peduli.
Aku tak akan berjanji untuk tidak menulis tentangnya lagi ataupun melenyapkan segala rasa untuknya. Dia adalah bagian lain dari hidupku yang tak akan mengganggu segala equiliburm yang aku jaga untuk mereka yang mengasihiku. Yang membuatku bersyukur dengan apa pun yang sedang ataupun telah terjadi. Tapi, aku menjadikannya hari baikku bersamanya, karena itu artinya, tak akan ada hari baik lagi untuknya, dengan itu pula ada satu kesimpulan, bahwa hari baikku adalah hari terakhir aku menyebut namanya di depannya. Dan itu adalah salah satu takdir yang kupilih dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar