Senin, 09 Mei 2011

Maaf, Reta Isteriku

11 Januari 2011


11 Januari 2011

Hari ini umurnya 21 tahun, 11 Januari 2011. Aku telah menyiapkan segalanya, menyiapkan diriku secara rohaniah maupun batiniah. Sudah lama aku menanti hari ini, hari yang sangat aku tunggu-tunggu. Hari dimana semua alur kehidupanku akan berubah. Berubah menjadsi lebih sempurna.

Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras dibalik punggungku. Darahku berdesir hebat membuat aku semakin galu untuk melangkahkan kaki. Tapi aku memantapkan hatiku sejenak dan melangkah pasti ke ujung gang ini, rumah nomor 12. Halaman rumahnya ramai sekali, banyak mobil dan motor juga beberapa orang yang baru saja berdatangan. Aku menguatkan hati dan tekadku. Aku berjalan masuk.


-‘-‘-


4 Januari 2011

“Berangkat kapan, Sayang?” Reta menggelayut manja dipunggungku ketika aku sedang menyelesaikan tugas skripsi S2 ku.
“Besok, Sayang. Seminggu bakalan nggak ketemu nih. Kangen.” Aku mencium pipi Reta.
“Siapa bilang, kan bisa webcam.” Jawabnya santai sambil berlalu ke dapur.
“Mau kopi?” tambahnya sambil menengadah ke arahku.
“Nope, aku baru aja ngabisin cangkir ketiga ku. Kamu tumben deh datang ke rumah jam 1 dini gini. Kenapa nggak besok pagi aja.”
“Sekali-sekali.” Reta tersenyum padaku. “Aku kangen.”


-‘-‘-


3 Januari 2011

Reta meletakkan sekuntum mawar putih di dalam vas yang selalu aku letakkan di atas meja samping tempat tidurku, Dengan sigap diamengganti mawar yang layu dengan mawar barunya, selalu begitu, dua hari sekali dia mengganti mawar pemberiannya untukku. Aku tak mengerti mengapa dia melakukannya, yang aku tahu Reta menyayangiku, itu saja sudah cukup untukku.
Setiap aku bertanya padanya mengapa Reta selalu memberiku mawar putih, dia hanya membalasnya dengan tersenyum. Tapi kali ini berbeda, dia menjawab dengan kalimat yang tak aku mengerti.
“Karena aku ingin kamu mengerti bahwa sayangku padamu seperti sayangku untuk mengganti setiap mawar putih itu di tiap waktunya layu, mawar putih, adalah benar jika dia berwarna putih, suci, seperti kasih yang kuberikan untukmu, ku usahakan akan selalu putih. Seperti mawar yang kamu lihat ditiap kamu membuka mata.”


-‘-‘-


2 Januari 2011

Ini kemo terapi ketiga ku, tanpa kumau, perlahan rambutku mulai rontok helai per helai. Aku tak bisa mencegahnya sama sekali, aku harus membayar umurku dihari-hari mendatang dengan rambutku. Ah ini tak akan mengapa selama aku tahu Reta akan selalu ada disampingku, menyayangiku dan mendukungku untuk meluluskan studi S2ku. Itu saja cukup untukku.
Reta pernah berjnji padaku bahwa apapun yang terjadi nanti, dia akan tetap bersamaku seperti aku selalu ada untuknya ketika kanker otak ini belum membantaiku perlahan. Aku percaya padanya, seperti aku percaya pada matahari bahwa ia akan menepati janjinya untuk muncul lagi esok hari.


-‘-‘-


1 Januari 2011

Tahun baru, kuharap menjadi awal yang baru untukku dan Reta. Aku selalu berdoa pada Tuhan, agar Reta lah yang kulihat ditiap kali aku melihat, bahwa Reta lah yang kudengar merdu suaranya ditiap siaga telingaku.
Aku mencintai Reta sepeeti aku mencintai ibuku sendiri. Aku menyayangi Reta lebih dari caraku menyayangi diriku sendiri. Aku mengasihinya, tanpa satupun balasan yang kuharapkan kelak.
Reta adalah hidupku, nafas dalam aliran darahku. Reta adalah segalanya untukku. Segalanya. Apapun akan kulakukan untuknya. Aku berjanji.


-‘-‘-


11 Januari 2011

Kotak merah berbentuk hati yang kugenggam ikut bergetar seiring bergetarnya tanganku. Kalau boleh jujur, aku takut, sekaligus bahagia. Bahagia karena sebentar lagi Reta akan menjadi milikku seutuhnya. Mencintaiku dengan tulus, memberiku semangat untuk menyelesaikan pengobatanku di Singapura dan memulai rumah tangga yang bahagia bersamanya.
Aku memasuki halaman belakang rumah Reta di mana pesta ulang tahunnya diselenggarakan. Sudah sangat ramai rupanya. Ratusan orang berkumpul di halaman yang telah didesign dengan warna putih. Ada banyak mawar putih di sini. Pikiranku melayang, hari ini seharusnya Reta mengganti bunga mawarku, tapi tak dia lakukan. Ah mungkin dia sibuk menyiapkan pesta yang sedemikian besar ini.
Reta terlihat begitu anggun dengan long dress warna putih, rambutnya yang panjang menguntai indah. Senyumnya begitu menawan.
Aku menghampiri Reta, kekasihku. Reta sedikit terkejut dengan kedatanganku, kedatanganku yang sehari lebih awal dari seharusnya. Yaa, Reta memang harus terkejut.
Aku mencium kedua pipinya lembut, namun Reta sama-sekali tak tersenyum padaku, mungkin terkejut. Dadaku berdebar tanda surpriseku berhasil kali ini. Aku mengambil cincin yang telah aku siapkan jauh-jauh hari untuknya. Kutarik lembut tangan Reta dan hendak memakaikannya ketika kulihat ada sebuah cincin lain yang melingkar di sana. Mungkin hadiah dari orang tuanya. Aku hendak melepasnya dan memakaikan cincinku kepada Reta, namun dia menampikku. Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh, laki-laki berstel jas putih tersenyum sinis kepadaku.
“Maaf, Bung. Reta istriku.” Aku menoleh pada Reta, Reta hanya menunduk. Tanda setuju. Aku meninggalkan rumahnya dengan sakit yang tiada berperi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar