Jumat, 22 Juni 2012

Enlighted My Sight

Satu meja itu, meja paling depan di deretan nomor dua dari kanan dinding kelas Sepuluh Satu. Salah satu terfavorit, tentu saja. Kemudian di belakang kami akan ada Yoga Nur Adhitama  dan Zaka Jauhar Firdaus, our faithful friend.  Atau ketika kami memilih untuk duduk di meja nomer dua dari depan, maka akan ada Athaya Reisya Nabila dan Sinta Puspita Sari di depan kami. Tatanan itu tidak akan berubah kecuali ada ‘disaster’nya anak sekolahan. Ulangan Harian.
Entah mulai dari mana aku bisa menemukan dia. Awalnya kami memang bukan teman dekat. Awalnya lagi aku lebih sering menghabiskan waktuku bersama Gresi Amarita Rahma, Dewi Arnis, dan Laras Qistina Putri. Tiba-tiba saja, aku sudah dekat dengan dia, tiba-tiba saja semuanya terasa lebih menyenangkan.
Kami berbeda, bukan tipikal gadis yang sama. Begitulah kami saling melengkapi, mungkin. Dia selalu mendengarkan segala ceritaku walaupun aku sangat yakin itu bukanlah hal yang penting untuknya. Hingga saat ini, aku merasa bukanlah pendengar yang terlalu baik untuknya. Untuk kedua kalinya aku merasa aku merenggut lebih dari lima puluh persen waktu kebersamaan kami. Seringkali aku berpikir apakah aku sudah menjadi sahabat yang baik untuknya, aku terlalu egois dan ... kalau kata Yoga aku sudah seperti diktator ketika memberi saran. Apakah dia nyaman atau justru terpaksa karena memang begitulah seharusnya tatanan kami di kelas.
Aku menyukainya, kesederhanaannya dan caranya cemberut. Menangis pun rasanya aku juga telah menyukai caranya. Satu waktu, aku masih ingat benar ketika dia membantuku mengenakan jilbab. Jilbab warna abu-abu miliknya yang aku pinjam karena aku harus ke masjid sepulang dari rumahnya dan hari itu aku tidak membawanya. Aku begitu terkesan, sungguh.
Juga waktu ketika aku mengajarinya naik kereta (baca: motor). Hei, girl! Berapa tawa yang kita umbar saat itu. Ah, aku sangat merindukannya. Mungkin juga momen kami menginap bersama, momen aku berkali-kali melihatnya mengeces, berapa umurmu? Aha, tapi lagi-lagi aku memang tengah merindukannya.
Aku menemukan diriku sendiri ketika bersamanya, aku ... ya beginilah aku.
Satu tahun berlalu, kenaikan kelas dan dalam daftar kami satu kelas lagi. Bahagia? Yaa tentu saja. Namun angan tentang memasuki tahun kedua kami harus menguap bersama pekat. Daftarnya diubah dan kami tidak lagi satu kelas. Hell yeah. Sedih sekali, aku bahkan tidak tahu harus bagaimana, kurasa bukan hal yang mudah untuk beradaptasi dengan seseorang hingga intens seperti yang pernah kulakukan bersamanya. And God, ini terlalu melankolis untuk ku tuliskan.
Kami jarang mengobrol sejak itu, betapa aku selalu bersamanya dari pagi hingga jam dua siang dan tiba-tiba semua itu terhenti. Tentu saja, harus menyesuaikan diri hingga hal yang kutakutkan pun terjadi. Kami terbiasa untuk tidak saling bersama. Ah, aku tidak lagi bisa menceritakan kepadanya tentang apa yang baru saja terjadi, membicarakan hal-hal yang tidak penting apalagi. I’ve been missing it too much much much.
Aku hanya ingin berterimakasih yang sangat banyak untuknya, juga begitu besarnya aku merindukannya.
Akulah yang pertama memanggilnya Togar, hey, bukan hal yang tidak biasa lagi sekarang ketika semua orang juga memanggilnya demikian. Aku selalu berharap, menyelipkan doa-doa kecil agar mereka juga menyayangimu seperti aku, lewat nama itu atau apapun!  Voila, aku harus menghentikannya mungkin. Cukup sampai di sini saja yaa. Hope ur best, absolutely yes. Amin.

 Zulaikha Amalia Siregar.


 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar