Jumat, 25 Mei 2012

Untuk Rastha

There're so many special things in this world. But, only you and you are so special.

Dear Rastha,

            Kau pernah mendengar Yin dan Yan?
Ku rasa seperti itulah gambaran simple untuk beberapa tahun dan bulan-bulan indah yang pernah ku lewati bersamamu. Seperti Yin dan Yan, memiliki dua sisi yang berbeda. Ada hitam dan putih, ada bahagia dan tentu saja ... duka. 

            Aku bahagia pernah mengenalmu, aku bangga pernah menjadi bagian dari hatimu, bagian dari secuil prioritasmu akan hidup. Kau tahu, aku bahkan tak sanggup menghitung berapa banyak jemari lentikku pernah menuliskan namamu di setiap ruang kosong di buku-buku milikku. Aku tidak sekadar menulis, aku menghayatinya, memikirkan betapa serasinya dua nama itu ketika bersanding. Rastha dan Anjani. Menuliskannya saja sanggup membuatku tersenyum mengingatmu, tak tahu bagaimana Tuhan sanggup menciptakan makhluk sepertimu, Maha Dahsyatnya, bukan. 

        Aku suka melihat mata sabitmu, mengusap lembut punggung tanganmu, atau sekedar melihat bagaimana caramu tersenyum kepadaku. Caramu tersipu, caramu tersenyum, hingga tawamu. Yaa! Aku mencintainya. Melihat bagaimana rona merah itu seketika memenuhi wajahmu, lagi-lagi aku sangat mencintai momen-momen itu.

         Aku masih mengingatnya, caramu mengunyah, caramu memangku tanganmu, caramu membenahi jaketmu, caramu meminum kopi, dan segala hal yang pernah ku lalui bersamamu. Aku tak pernah tahu dan tak ingin menduga-duga sampai kapan aku sanggup mengingat segala hal yang pernah menyertai langkahku untuk menggenggam kesempurnaan bersamamu, tapi aku... aku menyukainya.

        Mungkin saja kau lelah membaca rentetan tulisan spamming ini, tapi mengertilah, aku menuliskannya dengan secuil ruang kosong yang isinya telah amburadul tak tersisa. Dengan asa yang masih membara di ruang rinduku, dengan kemelut yang mendesakku untuk segera membiarkanmu berlari dalam kebebasan. Juga pencapaian diri untuk menjadi lebih baik, tanpamu.

         Aku membenci diriku sendiri ketika kau mulai meminta maaf untuk segala hal yang tak pernah sanggup kau berikan sepenuhnya untukku. Tentang jarak, tentang waktu, dan prioritas. Sungguh, aku tak pernah menuntutmu untuk selalu membuat kehadiranku menjadi sisi mutlak dalam segala pelik rutinitasmu. Aku menerimamu apa adanya dan .... tulus. Aku pun mengerti kau juga melakukan hal yang sama denganku. Namun, sewajarnya aku menjadikanmu salah satu kunci utama di daftar hidupku. Aku ingin kau membuka pintu yang di dalamnya terdapat berbagai rasa dan warna hidupku. Seringkali, aku ingin kau mengunjunginya, aku ingin kau membaur di dalamnya. Tapi aku juga mengerti bahwa kau tak bisa melakukannya, karena kita berbeda, karena kau memiliki tatanan hidup yang tak bisa sedikitpun kumasuki. Seperti rumah, aku hanyalah tamu yang bisa menjajaki ruang sempit yang orang-orang sebut ruang tamu. Jika beruntung, maka aku bisa mampir ke belakang untuk memenuhi segala panggilan untuk beberapa saat dan aku dapat mengintip sudut-sudut dalam rumahmu. Hanya mengintip dan bukan memasukinya atau bahkan menjadi bagian darinya.

          Tapi mengertilah, bahwa dalam kebijakan rasa aku terus mencoba membangun asa untuk melihat esok dengan genggamanmu di dalam jemariku tanpa jera. Ku hapuskan segala paradigma yang pernah menyurutkan langkahku untuk berlari menembus impian kemapanan dan bahagia. Begitu besar usahaku hingga semakin lama kau menyadari satu hal, kau diam, tak bergerak dan kaku. Betapa pun aku menarikmu bersamaku, kau akan tetap pada jalanmu. Ku rasa aku mulai lelah, dan dengan ketidakberdayaanku, aku ... aku memilih mundur dari labirin yang memiliki ujung berbeda untukku dan juga tentu saja dirimu.

       Aku sangat menyayangimu, seperti kesetiaan yang selalu kau ajarkan kepadaku, seperti hidup yang pernah kau ceritakan kepadaku, dan sepertimu... yang pernah membuat hidupku sangat mengesankan.

     Terimakasih untuk senyum yang tersimpul manja, untuk tawa yang sumringah menyapu hitam, untuk cinta yang terhampar melimpah-ruah, dan untukmu yang masih kusayangi sampai detik penghabisan yang sanggup untuk ku lakukan.

        Doaku menyertaimu, doaku untukmu, sayang..., hingga kau menemukan pengganti yang sanggup memahamimu lebih dariku, menyayangimu sepenuh hati dan menjadikannya keikhlasan dalam keabadian janji setia. Aku akan meneruskan jalanku, menunggu tangan lain yang siap mengantarku pada ruang putih pembaruan, juga kasih yang nyata. 

          Aku bahagia denganmu, aku ... menyayangimu.




Anjani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar