Senin, 27 Juni 2011

BINTANG untuk MENTARI


Aku mengusap pipiku yang masih sedikit perih, berjuta pertanyaan menggantung di otakku. Kuketukkan tanganku di jidat perlahan sambil merutuki diriku sendiri, ‘Bagas bego ! Lo abis diputusin cewek gara-gara lupa ulang tahunnya ! Dapet bonus tampar lagi. Mau ditaruh mana muka lo ! Beg …’
                “Auuuuw !” Sebuah bola plastik menampar pipiku yang baru saja kuelus. Panas. Ku ambil bola plastik itu lalu menengadah. Kudapati seorang anak laki-laki botak di depanku. Aku terlonjak kaget. Seperti tuyul. Aku diam saja, begitu pun dengan anak laki-laki itu. Raut mukanya menggambarkan kecemasan yang begitu mendalam, aku tersenyum dibuatnya. Lucu.
                “Maaf, dia adekku.” Seorang gadis mungil merangkul si bocah dan mengelus kepalanya penuh kasih. Aku mengangguk.
                “Iya, nggakpapa kok, santai aja lagi.” Gadis itu tersenyum, dua lesung tersungging di pipinya, manis sekali gadis itu. Waktu seolah berhenti sejenak ketika dia tersenyum. Jantungku berdegub sangat kencang. ‘Bagas, stop it!’, rutukku dalam hati. “Namamu siapa?” timpalku lagi.
                “Emm,” gadis itu terdiam sejenak.
                “Kok emm, namamu siapa? Punya nama kan,” Aku terbahak.
                “Aku…, Aku Jasmine.” Ku ulurkan tanganku padanya, bisa kulihat rona merah di wajahnya. Sungguh, makhluk Tuhan yang paling indah.
                “Bagas.” Kusunggingkan senyum terbaikku. Pipinya bersemu merah. Aku terbahak lagi.
+++
                Entah angin apa yang membawaku ke taman yang saat ini sedang kupijak. Aku sangat jarang berjalan-jalan sore hari di sekitar kompleks perumahanku, bisa dibilang tak pernah malah. Aku biasa meluangkan waktuku untuk bermain basket di sekolah hingga sore hari dan hangout bareng teman-teman perempuanku atau sekedar nongkrong ketika malam. Kuhirup udara dalam-dalam, sejuk.
                Sebuah headset masih setia melingkar di kepalaku. Aku berjalan menuju sebuah bangku di sudut taman, duduk dan menyulutkan sebatang rokok. Mataku liar memandang ke berbagai sudut di taman ini. Aku melihat dia, Jasmine, yaa, gadis yang memiliki senyum menawan itu. Aku tak mungkin salah melihat, itu pasti Jasmine. Aku terus saja mengamatinya dari tempatku bersandar. Jasmine masih saja sibuk dengan laptopnya, sesekali menulis di sebuah buku sambil meneguk minuman berwarna merah muda, milkshake stroberi mungkin. Hari mulai gelap, Jasmine beranjak dari tempatnya bernaung, disusul langkahku untuk kembali pulang.
                Hari-hari selanjutnya masih sama, aku mengamati Jasmine di sudut taman. Mendapati gadis  manis yang selalu membawa laptop, buku berwarna emas, dan segelas minuman warna merah muda. Masih di tempat yang sama, di bawah pohon seroja hingga hari mulai gelap.
+++
                Kuberanikan diri untuk mendekati Jasmine. Sungguh, aku ingin mengenalnya lebih dekat. Langkahku terasa sangat nyrimpet, berat. Kecepatan degup jantungku menyaingi Lorenzo di sirkuit. Peluh mentes pasti di balik punggungku. Telingaku terasa panas. Jujur, lidahku kelu ketika aku sampai di tempat Jasmine duduk. Jasmine mendapatiku berdiri di hadapannya. Dia menengadah, terdiam sejenak, kulihat gambar keterkejutan di sana, aku tersenyum, meringis lebih tepatnya.
                “Bin…,”  Jasmine tak melanjutkan kata-katanya.
                “Apa Jasnine? Boleh aku duduk?” Aku tersenyum lembut.
                “Nggakpapa kok. Boleh.” Jasmine menggeser tubuhnya dan memberiku ruang untuk duduk.
                “Kamu sekolah mana sih? Rumahmu blok berapa? Kok dulu aku nggak pernah lihat kamu ya?” tanyaku membrondong. Jasmine tertawa lepas, sungguh, dia begitu manis.
                “Aku satu sekolah lagi sama kamu, rumahku di blok E, aku baru aja pindah ke sini sebuan yang lalu. Kita sering ketemu kok, kamu sering latihan basket kan di lapangan kompleks, mungkin kamu aja yang nggak pernah sadar.” Jasmine tersenyum tipis, lalu mengemasi barang-barangnya. Aku hanya terpaku dengan kata-katanya. Semua pertanyaanku tentangnya tersekat di tenggorokanku.
                “Aku pulang dulu ya, Gas, udah magrib.” Jasmine berdiri.
                “Aku anter, ya?” tanyaku gugup. Jasmine mengangguk.
+++
                Hari mulai gelap, tak kudapati Jasmine yang biasanya duduk di bawah pohon seroja itu. Hatiku gelisah menunggunya. Sudah seminggu aku tak melihatnya duduk di sana. Aku memang sering mengobrol dengan Jasmine semenjak sore itu, tapi bodohnya, aku tak pernah meminta nomor teleponnya. Jasmine bukan saja manis, tapi hatinya juga cantik. Dia selalu berpikir positif dengan apapun yang melintang di pelupuk matanya. Semangatnya sangat tinggi, optimismenya akan segala hal sangat besar. Sikap itulah yang tanpa kusadari membuatku nyaman di dekatnya. Belum lagi dengan mata cokelatnya yang membualat besar, membuatku sangat teduh, tiap kali kulihat matanya, aku seperti telah mengenalnya begitu lama.
                Ini sudah jam tujuh malam, Jasmine tak juga muncul. Ke mana dia, aku ingin melihat senyumnya terus-menerus, memabukkan memang. Aku meninggalkan taman dan hendak berkunjunbg ke rumah Jasmine. Blok E nomor duabelas, aku masih ingat benar letak rumahnya.
                Aku sampai di teras rumahnya. Kupencet bel yang menempel di dinding rumah beraksen Jawa beberapa kali. Tak seorangpun menjawab. Kupecet belnya lagi dan lagi. Aku cemas, entah, ada perasaan takut di sini, aku jadi tak karuan, kupencet bel tu terus menerus sampai ada seseorang yang menepuk pundakku dari belakang.
                “Mas Bintang?”
                “Mbak siapa ya?”
                “Ini Mas Bintang?”
                “Saya Bagas, bukan Bintang.”Sanggahku dengan tegas.
                “Iya, Bintang Bagas Hadiwiyarto,” Perempuan separuh baya itu mengangguk pasti.
                “Dari mana Mbak tahu nama panjang saya?” Aku tersentak dibuatnya.
                “Mari masuk mas,” Si mbak itu menyuruhku untuk masuk, langkahnya begitu tergesa-gesa. Aku mengikutinya dengan berbagai keraguan.
                “Duduk dulu, Mas Bintang.” Kuanggukkan kepalaku perlahan. Samar-samar bisa kucium wangi lilin aromatheraphy di ruangan ini. Ada yang mengalihkan pandanganku. Banyak pigura berjajar di atas meja itu. Kulihat satu-persatu. Foto Jasmine, foto Jasmine bersama seorang perempuan paruh baya, foto Jasmin dengan seragam SMP, foto dua anak kecil, dua anak itu tersenyum lebar mengahadap kamera. Foto itu adalah, AKU. Kucubit pipiku, sakit. Itu memang aku, saat umurku sekitar sembilan tahun, dan itu Mentari, teman masa kecilku di Bandung dulu, sebelum kepindahaku ke Jogja. Yaa, itu pastilah Mentari. Cinta pertamaku.
                Monggo, Mas, diunjuk rumiyin.”
                “Mbak, ini Mentari?”
                “Iya, monggo diunjuk rumiyin, Mas,” Aku duduk dengan berjuta pertanyaan menggantung di benakku. Apa mungkin Jasmine itu Mentari? Kalau memang benar Mentari, kenapa dia bilang namanya Jasmine, kenapa Mentari nggak cerita, kenapa Mentari pindah ke Jogja, kenapa, kenapa, kenapa.
                Aku mengambil secangkir teh yang telah disajikan dan menyeruputnya dengan enggan. Buru-buru kuletakkan cangkirnya dan menatap wajah mbak itu seksama.
                “Mbak, kenapa Mentari nggak cerita tho?”
                “Ini mas, ada titipan dari Mbak Mentari.” Aku mengambil sebuah amplop biru yang diberikan mbak itu padaku. Kubuka perlahan.
                “Jangan di buka, Mas. Mbak Mentari pesan sama saya, bukanya teng griya mawon.” Aku mengangguk dan pamit undur.
+++
                Dear Bintang,
            Aku tahu, aku paham, dan aku sangat mengerti. Ketika kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah nyaman di tempat baruku. Bintang Bagas, Bagas Bintang, aku tak tahu namamu sudah berubah semenjak 10 tahun yang lalu. Yang kukenal dulu adalah Bintang, teman masa kecilku sekaligus cinta pertamaku. Kamu tahu, Bintang, kamu selalu ada untukku tiap kali anak-anak lain membuatku menangis. Kau sangat benci melihat seorang gadis menangis bukan, aku akan selalu mengingatnya.
            Kepindahanmu ke Jogja membuatku merasa sendiri. Sekalipun aku memiliki seorang sahabat yang sanagt baik, aku merindukanmu, Bintang. Hanya kamu yang berhasil merebuat setengah hatiku untuk selalu kuembankan padamu. Hanya kamu. Sampai saat kamu membaca surat inipun akan tetap kamu, Bintang.
            Tiga tahun yang lalu kamu pulang ke Bandung, dua bulan kamu menghabiskan libur kelulusanmu bersamaku. Ingat aku, kurasa tidak. Mengapa sampai aku tak mengakui namaku Mentari, itu karena aku takut kamu tak akan ingat padaku. Itu terlalu sakit, Bintang. Kuharap kamu mengerti itu. Dua bulan terasa begitu cepat untukku, semua memori bersamamu akan tetap kuingat sekalipun kamu mengenalku sebagai Jasmine. Lalu tiba-tiba kita bertemu lagi di bawah seroja, tapi kamu lagi-lagi tak mengenal Jasmine. Kupikir, jika Jasmine saja kamu lupakan, lalu bagaimana dengan Mentari.
            Aku memang telah jauh berbeda dari tiga tahun yang lalu, tubuhku mengalami kerusakan di beberapa bagian organnya hingga membuat penampilanku sedikit berbeda. Kujadikan maklum untukmu untuk tak mengenalku. Kamu tahu, Bagas. Kanker darah membuat hidupku terasa begitu pendek. Tapi kehadiranmu membuat sesuatu yang lain, yang telah lama tak kudapatkan lagi. Kamulah yang kutunggu selama ini, kamulah yang menjadi semangat agar buliran nafasku tetap berhembus teratur. Tapi kamu tahu, Bagas, aku sudah lelah, ini sudah cukup untukmu, mengenalmu lagi sebagai Bagas sudah cukup untukku. Terimakasih untuk semua yang telah kamu berikan untukku. Aku menyayangimu, Bintang. Tetaplah jadi bintang di hati Mentari. Karena Mentari akan selalu untuk Bintang dan Bintang untuk Mentari. Akan selalu begitu, selalu.

Peluk hangat,
Mentari

                “Mentari, …” Semua berputar di kepalaku, kupingku panas, terlebih mataku. Hal yang sangat kubenci kini terjadi pada diriku. Menangis. Aku menangis. Ketika aku telah menemukan lagi cinta pertamaku, Tuhan terlalu cepat mengambilnya. Kurasakan kepalaku begitu berat. Aku terkulai. Semua menjadi gelap.


               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar